Saturday 21 September 2013

HADITS 1 KITAB BULUGHUL MARAM [KESUCIAN AIR LAUT]



 Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، في البَحْرِ: هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُأَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ
وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
“Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang (hukum) air laut: “Air laut itu suci, (dan) halal bangkainya.”
Dikeluarkan-dia dishahkan-dia "Empat" dan Ibnu Abi Syaiban: dan lafazh itu baginya, dan dishahkan-dia oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi ; (dan diriwayatkan oleh Malik dan Syafi'i dan Ahmad).

Penjelasan Kosa kata Hadits
(هو الطَّهور ماؤه). Kata الطَّهور dalam bahasa arab adalah shighat mubalaghah bermakna suci dan mensucikan. Dibaca dengan di-fathah-kan huruf tha’-nya bermakna sesuatu yang dipakai untuk bersuci. Kata ganti   هو kembali kepada laut. Sehingga (هو) dalam bahasa arab kedudukannya adalah Mubtada’ dan(الطهور)   adalah mubtada’ kedua, sedangkan kata (ماؤه) adalah khabar atau faa`il untuk kata (الطهور) , karena dia adalah shighah mubalaghah.  Jumlah susunan mubtada’ kedua dan khabar-nya menjadi khabar bagi mubtada` pertama. Susunan ini dalam bahasa arab berisi pembatasan sifat kepada maushuf (yang dishifati). Berarti maknanya membatasi kesucian hanya pada air laut. Pembatasan ini tidak hakiki, karena kesucian ada pada selain air laut juga. Maka ia sebenarnya adalah pembatasan tertentu (qashru Ta’yiin); karena penanya bimbang antara kebolehan berwudhu dan tidak, sehingga Rasulullah menentukan kebolehannya.

(الحِلُّ ميتته) demikian tanpa adanya huruf sambung wawu. Kata(الحل)  dengan di-kasrah-kan huruf ha’-nya, dalam bahasa arab adalah mashdar dari  حلَّ يَحِلُّ yang menjadi anonim kata haram. Sedangkan kata (ميتته)  dengan di-fathah-kan huruf mim-nya adalah semua hewan laut yang mati tanpa sembelihan syar’i seperti ikan

Pelajaran yang dapat diambil dari Hadits:
  1. Kedudukan hadits ini disampaikan imam Syafi’i dengan ungkapan: Hadits ini separuh ilmu thaharah. Juga ibnu al-Mulaqqin menyatakan: Hadits ini hadits yang agung dan salah satu pokok thaharah berisi banyak sekali hukum dan kaedah penting.
  2. Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak mengetahui sesuatu masalah agama, mengamalkan perintah Allah di dalam Alquran, “Betanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu.”
  3. Semangat sahabat dalam mencari dan menerima ilmu dari Rasulullah. Hal ini nampak dari sebab adanya hadits ini berupa pertanyaan mereka kepada Rasulullah.
  4. Bertanya merupakan satu cara mendapatkan ilmu yang sangat penting.
  5. Bolehnya seorang menjawab pertanyaan melebihi dari yang ditanyakan, apabila penanya membutuhkannya. Sebab dalam hadits ini, orang yang naik perahu butuh mengenal hukum bangkai hewan laut. Disini Rasulullah n memberikan fatwa ini karena mereka butuhkan dan mungkin juga selain mereka membutuhkannya. Oleh karena itu seorang mufti bila melihat kebutuhan penanya tentang sesuatu yang belum ditanyakan, maka disyariatkan untuk menambah melebihi pertanyaan. Apabila tidak maka jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan saja. Syeikh Al-Basaam menyatakan, “Pentingnya menambah keterangan dalam fatwa atas satu pertanyaan. Hal itu apabila mufti menganggap penanya tidak mengerti hukum tersebut atau ia tertimpa masalah tersebut. Sebagaimana dalam bangkai hewan laut pada orang yang menyeberangi lautan. Ibnul Arabi menyatakan, ‘Itu termasuk nilai-nilai posotif fatwa dengan menjawab melebihi pertanyaan untuk menyempurnakan faedahnya dan menyampaikan ilmu yang tidak ditanyakan. Ini akan sangat penting apabila nampak kebutuhan terhadap hukum tersebut.’” (taudhih al-Ahkaam, 1/117).
  6. Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal.
  7. Boleh berlayar mengarungi lautan meskipun bukan untuk berjihad.
  8. Membawa bekal ketika shafar menyalahi perbuatan kaum shufi.
  9. Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan seperti kelaparan dan kehausan.
  10. Dari kaidah ushul, “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
  11. Bahwa syariat Islam itu sangat mudah bagi mereka yang paham dan ikhlas.
  12. Bahwa seseorang tidak dibebani kecuali semampunya.
  13. Bahwa syariat Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
  14. Air laut itu suci dan mensucikan. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan, “Air lau suci mensucikan seluruhnya tanpa pengecualian.” (fathuljalal walikram, 1/60)
  15. Bangkai binatang laut itu halal dan suci, sebab dalam kaidah dikatakan, “Semua yang halal itu suci dan tidak semua yang suci itu halal. Setiap najis itu haram dan tidak semua yang haram itu najis.” (Fathuljalal walikram, 1/60).
  16. Bolehnya berwudlu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu sehingga berubah rasanya, atau baunya atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh atau kopi, dan lain-lain.
  17. Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.
  18. Air laut suci mensucikan tidak keluar dari hukum ini sama sekali. Oleh karenanya diperbolehkan bersuci dengan air laut dari hadat kecil atau besar serta najis.
  19. Penjelasan hukum bangkai hewan laut yang tidak hidup kecuali diair.
  20. Pengertian hadits ini menunjukkan pengharaman bangkai hewan darat.
  21. Kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah, karena sahabat ini merujuk kepada Rasulullah ketika mendapatkan masalah dalam bersuci dengan air laut.
  22. Para sahabat tidak bersuci dengan air laut, karena asin bergaram dan baunya amis. Air yang demikian adanya tidak diminum sehingga para sahabat menganggap yang tidak diminum tidak bisa digunakan untuk bersuci. Rasulullah tidak menjawab hanya dengan kata “iya” ketika mereka bertanya: “apakah kami boleh berwudhu dengannya?”, agar kebolehan berwudhu dengannya itu terfahami tidak terikat dengan keadaan darurat semata bahkan untuk semua keadaan. Juga agar tidak difahami kebolehan tersebut hanya untuk berwudhu semata, namun boleh untuk menghilangkan hadat besar dan mensucikan najis.
Masaail.
Hewan laut atau air dibagi oleh para ulama menjadi dua:
  1. Hewan air yang hanya hidup didalam air dan bila keluar kedaratan maka akan mati seperti hewan yang disembelih. Contohnya ikan dan sejenisnya.
  2. Hewan air yang dapat hidup di daratan juga, dinamakan sebagian orang dengan al-Barma`i (yang hidup didua alam). Seperti buaya, kepiting dan sejenisnya.
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
  • Seluruh hewan laut halal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah dan asy-Syafi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah ,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Maidah : 96).

Dan hadits Abu Hurairah yang kita bahas ini. Ayat dan hadits ini bersifat umum
pada semua hewan laut.
  • Seluruh hewan laut atau air halal kecuali katak, buaya dan ular. Ini adalah pendapat madzhab Hambaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan argument oleh pendapat pertama. Mengecualikan katak karena hewan yang dilarang membunuhnya dan mengecualikan buaya karena ia buas pemangsa dengan taringnya dan memangsa manusia. Sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
  • Semua yang ada dalam laut diharamkan kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan kecuali yang sudah mati mengambang dipermukaan laut. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah. Mereka berdalil pada keumuman firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَآأَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ وَمَاذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِاْلأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS. Al-Maaidah: 3).

Dalam ayat ini, Allah tidak merinci antara hewan laut dengan darat, sehingga  berlaku umum. Juga firman Allah,
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raaf : 157).

Selain ikan semua hewan laut buruk (khabiets), seperti kepiting dan lain-lainnya.
  • Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan apabila yang serupa dengannya dari hewan darat halal dimakan. Misalnya babi laut diharamkan karena babi darat diharamkan, anjing laut haram karena anjing darat haram. Ini adalah satu diantara pendapat dalam madzhab syafi’iyah dan satu pendapat dari madzhab Hambaliyah. Dalilnya adalah qiyaas (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama maka diberi hukum yang sama.
Pendapat yang rajah
Syeikh Prof. DR. Shalih bin Abdillah bin Fauzan alifauzan merajihkan pendapat madzhab malikiyah dengan dasar kuatnya dalil mereka dan tidak adanya dalil yang mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka. Kemudian syeikh membantah pendapat yang lainnya dengan menyatakan.

Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maaidah: 3).

Maka jawabnya adalah ini umum yang sudah dikhususkan dengan sabda nabi tentang air lautan,
(هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ)

Sedangkan argumen mereka dengan keumuman firman Allah,
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raaf : 157).

Dalam mengharamkan kepiting, ular dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa diterima perihal ini semua adalah habiets (buruk/menjijikkan). Sekedar klaim ini termasuk yang menjijikkan tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang membolehkan). Sedangkan qiyaas (analogi) mereka semua yang ada dilaut dengan hewan darat yang dilarang, maka ini tidak sah karena menyelisihi nash syariat. (Al-Ath’imah, hlm. 78-79).

Demikian juga syeikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin merajihkan keumuman ini dalam pernyataan beliau,  “Yang benar adalah tidak dikecualikan satupun dari hal itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali diair adalah halal baik yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan terdahulu.”  (Syarhulmumti’, 15/35)
Wallahu a’lam.

KITAB THAHARAH [SYARAH BULUGHUL MARAM]

Oleh Ustad Kholid Syamhudi, Lc

Kitab ath-thaharoh (كتاب الطهارة)

Imam Ibnu Hajar memulai kitab beliau “Bulughul Maram” dengan kitab ath-thaharoh sebagaimana para ulama lainnya dalam menulis kitab-kitab fiqih.

Para ulama mendahulukan kitab Thaharah karena beberapa alasan, diantarnya:

* Hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seputar syiar-syiar islam dimulai dengan sholat, lalu zakat, puasa dan haji setelah syahadatain. Seperti disebutkan dalam hadits Abdillah bin Umar yang berbunyi:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .

Rasulullah telah bersabda: Islam dibangun diatas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi)

Disini shalat menjadi rukun pertama yang bersifat amaliyah sehingga didahulukan dari selainnya. Namun sholat memiliki kunci yang menjadi syarat sahnya yaitu thaharah. 

Karena itu Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda:

« مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ »

Kunci pembuka shalat adalah thaharoh dan pengharamnya adalah takbir dan pembubarnya (penutupnya) adalah taslim (baca salam). (HR at-tirmidzi dan dishahihkan al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi).

Thaharah menjadi syarat sah sholat yang terpenting sebagaimana dijelaskan Alloh سبحانه وتعالى dalam firmanNya :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-maaidah/5:6)

Nabi صلى الله عليه وسلم pun bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Allah tidak menerima sholat salah seorang kalian apabila berhadats hingga berwudhu.

*Thaharah adalah takhliyah (pensucian atau pengosongan), karena ia adalah pembersihan dan pensucian. Dikatakan para ulama “at-takhliyah qabla at-tahliyah (Pemurnian sebelum penghiasan)”.

*Thaharah adalah syarat sah shalat yang paling banyak rincian dan cabang permasalahannya. Karena itulah para ulama penulis kitab fikih mendahulukan kitab at-thaharaoh atas selainnya.

Imam ash-Shan’ani berkata: “Beliau (ibnu Hajar) memulai dengan (kitab) thaharah karena mengikuti tata cara para penulis (buku fikih) dan untuk mendahualukan perkara agama dari selainnya. Juga untuk memperhatikan amalan yang terpenting, yaitu shalat. Ketika thaharah menjadi salah satu syarat shalat, maka beliau memulai dengannya. Kemudian ketika air adalah yang diperintahkan secara asal untuk dijadikan alat bersuci maka beliau dahulukan juga”. (Subulus salam 1/80).

Demikian juga imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan sebab didahulukannya kitab ath-thaharah dari yang lainnya dalam penulisan kitab fikih dengan menyatakan: “ketika kunci shalat yang merupakan tiang agama maka para penulis kitab fikih membuka karya tulis mereka dengannya”. (Nailul Authaar 1/23).

Pernyataan imam ibnu Hajar :

(كتاب الطهارة)

terdiri dari dua kosa kata yaitu: kata (كتاب) dan kata (الطهارة) .

1. Pengertian Kata Kitab.

Kata (كتاب) dalam bahasa arab adalah mashdar dari kata (كَتَبَ – يَكْتُبُ – كِتَابًا وَ كِتَابَةً وَ كُتْبًا ). Susunan kata dari huruf tiga ini memiliki pengertian kumpul atau bersatu. Diantara pengertian ini adalah pernyataan: (اكتتب بنو فلان) apabila berkumpul dan (الكتيبة ) bermakna kumpulan kuda perang dan (الكتاب) karena berkumpulnya kata-kata dan huruf. Dinamakan sebagai kitab karena mengumpulkan yang diletakkan padanya. (fathulMajid tahqiq Asyraf Abdulmaqshud 1/17)

Kitab dalam istilah para ulama adalah semua yang ditulis diatas kertas untuk disampaikan kepada orang lain atau yang ditulis untuk menjaga dari kelupaan. Namun kata kitab juga digunakan para ulama untuk semua yang menyatukan beberapa bab pembahasan dan fasal (lihat Taudhih al-Ahkaam 1/113 dan Nailulauthar 1/23)

Penggunaan yang kedua inilah yang dimaksudkan dari pernyataan ibnu hajar : Kitab at-Thaharah.

2. Pengertian kata Thaharah dan Pembagiannya.

Pengertian Thaharah dalam bahasa arab memberikan pengertian kebersihan dan kesucian dari kotoran baik yang berujud dzat (Hissiyah) atau yang ma’nawiyah. (taudhih al-Ahkaam 1/113 dan master textbook GHDT 5083 hlm 10). Diantara kotoran yang bewujud (Hissiyah) adalah kencing dan tinja. Sedangkan contoh yang ma’nawiyah adalah syirik dan semua kebejatan akhlak.

Dengan demikian thaharah terbagi menjadi dua:

Pertama:

Thaharoh ma’nawiyah yang ada di kalbu, seperti dijelaskan dalam firman Alloh سبحانه وتعالى:

أُوْلاَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْي وَلَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمُ

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan didunia dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS. 5:41)

Juga dalam firman-Nya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. 33:33)

Thaharah ma’nawiyah ini menjadi bagian dari ilmu aqidah.

Kedua:

Thaharah Hissiyah. Ini yang menjadi bagian dari pembahasan ilmu fikih yang menjadi tujuan penulisan kitab Bulughul Maram.

Tentang pembagian Thaharah ini, syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menyatakan:

Thaharah dalam syariat digunakan untuk dua pengertian:
1. Thaharah qalbu (pensucian kalbu) dari kesyirikan dalam ibadah, sikap benci dan permusuhan kepada hamba Allah yang mukmin. Ini lebih penting daripada thaharah badan, bahkan tidak mungkin thaharah badan terlaksanakan dengan adanya kotoran syirik. Allah berfirman:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (QS. 9:28)

Nabi صلى الله عليه وسلم pun bersabda:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُ لاَ يَنْجُسُ
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis (Muttafaqun ‘alaihi).

2. Thaharah hissiyah (thaharah badan). (Syaehu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’ 1/25).
Thaharoh Hissiyah atau thaharah badan ini didefinisikan para ulama fikih dengan:

اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ وَ فِيْ مَعْناه وَ زَوَال النَّجَسِ
Mengangkat hadats dengan air atau debu yang mensucikan dan yang semakna (dengan pengangkatan hadats) dengannya serta menghilangkan najis.

Dari definisi ini ada beberapa istilah yang perlu dijelakan:
(اِرْتِفَاعُ الحَدَثِ بِالْمَاءِ أو التُرَابِ الْمُطَهِّرَيْنِ)

Hadats adalah sifat yang ada dalam badan mencegah dari shalat dan sejenisnya yang disyaratkan padanya thaharah. 

Sehingga mengangkat hadats adalah menghilangkan sifat hukum tersebut. Mengangkat hadats ini dapat dilakukan dengan air dan debu. Mengangkat hadats dengan menggunakan air pada wudhu dan mandi dan menggunakan debu dalam tayammum. 

(وَ فِيْ مَعْناه)
maksudnya adalah bersuci yang dianjurkan namun tidak dalam rangka mengangkat hadats seperti memperbaharui wudhu orang yang belum batal wudhunya dan mandi-mandi sunnah.

(وَ زَوَال النَّجَسِ)
bermakna hilangnya najis. Penggunaan kalimat (hilangnya najis) lebih umum dari kalimat menghilangkan najis (إزالة النَّجَسِ), karena kata menghilangkan merupakan perbuatan mukallaf. Sedangkan kata hilangnya najis bisa dengan perbuatan mukallaf dan bisa juga perbuatan yang lain, seperti seandainya turun hujan ditanah yang terkena najis atau mengenai pakaian yang terkena najis sehingga hilang najisnya, maka itu membuatnya suci, sebab dalam menghilangkan najis tidak disyaratkan niyat .

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa thaharoh badan terbagi menjadi dua:

1. Thaharoh dari hadats
Thaharah dari hadats ini terbagi menjadi dua; thaharah dari hadats kecil dengan wudhu atau penggantinya yaitu tayammum dan thaharah dari hadats besar dengan mandi wajib atau penggantinya yaitu tayammum.

2.Thaharah dari najis
Thaharah badan ini membutuhkan alat dan sarana yangdigunakan untuk bersuci, menghilangkan najis dan mengangkat hadats. Alat yang dijelaskan Allah sebagai alat bersuci adalah air, seperti dalam firman Alloh سبحانه وتعالى:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَايُرِيدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-maaidah/5:6)

Karena itulah imam Ibnu hajar mengedepankan permasalahan air dalam kitab thaharah ini, dengan menyatakan:
(باب المياه)
yaitu bab tentang air.

Imam an-nawawi menjelaskan tentang urutan ini dalam pernyataan beliau: “Para penulis kitab fikih memulai dalam kitab-kitab fikih dengan kitab thaharah kemudian bab tentang air (باب المياه) karena keselarasan yang indah dan mengamalkan hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang diriwayatkan imam al-bukhori dan Muslim dari hadits Ibnu Umar bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda:

« بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ » .

Islam dibangun diatas lima rukun; syahadatain, menegakkan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan (Muttafaqun ‘alihi). (disini) Rasulullah memulai setelah iman dengan shalat, sehingga mendahulukan sholat lebih penting menurut para penulis tersebut dalam kitab-kitab fikih”. (al-majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab 1/80).

3. Definisi Bab
Bab (باب) dalam bahasa arab bermakna tempat masuk kedalam sesuatu. Bab ini ada dua macam:

1. Hissiy seperti Bab al-bait (pintu Rumah) dan maknawi adalah bab pembahasan yang merupakan kumpulan daripada fasal-fasal (sub pokok bahasan) atau kumpulan yang khusus dari ilmu yang secara umum berisi fasal-fasal. Hal ini dinamakan Bab karena ia menjadi tempat masuk dalam mengenal hukum-hukum tentang air. Segala sesuatu akan baik bila dimasuki lewat pintunya, seperti dijelaskan dalam firman Alloh سبحانه وتعالى:

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Al-baqarah/2:189)

Inilah yang diinginkan imam Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau diatas.

4. Definisi Air (المياه)
Al-Miyaah adalah kata dalam bentuk plurals dalam bahasa Arab berasal dari kata (الماء) yang berarti air dan digunakan untuk jumlah air yang sedikit atau banyak. Air sendiri adalah benda yang sudah terkenal dan semua orang selalu membutuhkannya. Air ini beragam ditinjau dari sumbernya; ada air laut, mata air, sungai dan lain-lain. Sehingga imam ibnu hajar disini menyampaikannya dalam bentuk plurals karena tinjauan jenis-jenisnya.

Syeikh Abdullah al-fauzan menjelaskan hal ini dengan menyatakan: “Dibuat dalam bentuk jama’ walaupun isim jenis untuk menunjukkan keanekaragaman jenis air, seperti air laut, sungai dan hujan. Ada juga jenis air yang suci dan yang najis. Sehingga dibuat bentuk jamak karena tinjauan ini”. (Mihatul’alaam Syarhu Bulugh al-maram 1/22).

Friday 13 September 2013

HURU HARA HARI KIAMAT

KA'BAH DIHANCURKAN

Pada suatu saat nanti Ka'bah akan dirobohkan oleh seorang manusia terkutuk bernama Dzussuwaiqatain.

Demikianlah, sebagaimana kami riwayatkan dari Ka'ab Al-Ahbar dalam Tafsir kami ketika membahas tentang firman Allah Ta'ala, "Sehingga, apabila telah dibukakan (pintu) Ya'juj dan Ma'juj..." (QS. Al-Anbiya': 96) Bahwa munculnya Dzussuwaiqatain bermula pada masa turunnya Nabi Isa Alaihis Salaam, yaitu setelah dibinasakannya Ya'juj dan Ma'juj.

Ketika itu Nabi Isa Alaihis Salaam mengirim pasukannya untuk memerangi balatentara Dzussuwaiqatain. Mereka berkekuatan antara 700 sampai 800 orang. Namun ketika mereka berjalan, Allah mengirimkan angin sejuk dari negeri Yaman. Angin itu mencabut nyawa setiap orang yang beriman. Dan sisanya tinggal manusia-manusia jahat. Mereka bersetubuh bebas seperti binatang.

Ka'ab Al-Ahbar mengatakan, pada saat itu Kiamat sudah dekat. Dan kini saya ingatkan pula, bahwa di atas telah disebutkan dalam sebuah hadits shahih, bahwa Nabi Isa menunaikan haji setelah beliau turun ke bumi.

Perobohan Ka'bah Oleh Dzussuwaiqatain

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Ka'bah ini akan dirobohkan oleh Dzussuwaiqatain dari Habasyah. Dia merampas perhiasannya, dan melepas kiswahnya. Aku seakan-akan melihatnya, orang kecil botak dengan tulang-tulang persendian bengkok, sedang menghantam Ka'bah dengan sekop dan kapaknya."
Isnad hadits ini jayyid dan qawiy

Suasana Kota Makkah dan Madinah Menjelang Kiamat

Adapun kota Madinah, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits shahih terdahulu, bahwa Dajjal tidak dapat memasukinya, maupun memasuki kota Makkah. Di setiap mulut jalan di Madinah ada malaikat-malaikat yang menjaganya agar tidak dimasuki Dajjal.

Dalam shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Madinah tidak dapat dimasuki Dajjal maupun wabah penyakit."

Di atas telah dijelaskan, bahwa Dajjal hanya bisa tinggal di luar kota, lalu terjadilah goncangan hebat tiga kali, yang mengakibatkan kaum munafik maupun orang-orang fasik, laki-laki dan perempuan, semuanya keluar dari dalam kota, dan tinggallah orang-orang mukmin dan muslim, laki-laki dan perempuan. Dan hari itu disebut "Yaumul Khalash" (hari pembersihan).

Demikian sebagaimana pernah dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
"Sesungguhnya kota ini adalah Thaibah (harum). Dia sendiri yang membuang kotorannya lalu semerbaklah keharumannya."

Maksudnya, kota Madinah akan tetap ramai pada saat Dajjal beroperasi, dan ramai pada masa datangnya Rasulullah, Isa bin Maryam Alaihis Salaam, sampai beliau wafat dan dikubur di sana. Sesudah itu semua, barulah penduduk Madinah akan keluar meninggalkan kota itu.