Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، في البَحْرِ: هُوَ الطَّهُوْرُ
مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُأَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ
وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِيْذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
“Dari
Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang (hukum) air laut: “Air laut itu suci, (dan)
halal bangkainya.”
Dikeluarkan-dia dishahkan-dia "Empat" dan Ibnu Abi Syaiban: dan lafazh itu baginya, dan dishahkan-dia oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi ; (dan diriwayatkan oleh Malik dan Syafi'i dan Ahmad).
Penjelasan Kosa kata Hadits
(هو الطَّهور ماؤه). Kata الطَّهور dalam bahasa arab adalah shighat
mubalaghah bermakna suci dan mensucikan. Dibaca dengan di-fathah-kan
huruf tha’-nya bermakna sesuatu yang dipakai untuk bersuci. Kata
ganti هو kembali kepada
laut. Sehingga (هو) dalam bahasa arab
kedudukannya adalah Mubtada’ dan(الطهور)
adalah mubtada’ kedua, sedangkan kata (ماؤه)
adalah khabar atau faa`il untuk kata (الطهور)
, karena dia adalah shighah mubalaghah. Jumlah susunan mubtada’
kedua dan khabar-nya menjadi khabar bagi mubtada` pertama.
Susunan ini dalam bahasa arab berisi pembatasan sifat kepada maushuf
(yang dishifati). Berarti maknanya membatasi kesucian hanya pada air laut.
Pembatasan ini tidak hakiki, karena kesucian ada pada selain air laut juga.
Maka ia sebenarnya adalah pembatasan tertentu (qashru Ta’yiin); karena
penanya bimbang antara kebolehan berwudhu dan tidak, sehingga Rasulullah
menentukan kebolehannya.
(الحِلُّ ميتته) demikian tanpa adanya huruf sambung wawu. Kata(الحل) dengan di-kasrah-kan huruf ha’-nya, dalam bahasa arab adalah mashdar dari حلَّ يَحِلُّ yang menjadi anonim kata haram. Sedangkan kata (ميتته) dengan di-fathah-kan huruf mim-nya adalah semua hewan laut yang mati tanpa sembelihan syar’i seperti ikan
Pelajaran
yang dapat diambil dari Hadits:
- Kedudukan hadits ini disampaikan imam Syafi’i dengan ungkapan: Hadits ini separuh ilmu thaharah. Juga ibnu al-Mulaqqin menyatakan: Hadits ini hadits yang agung dan salah satu pokok thaharah berisi banyak sekali hukum dan kaedah penting.
- Bertanya kepada ahli ilmu jika tidak mengetahui sesuatu masalah agama, mengamalkan perintah Allah di dalam Alquran, “Betanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu.”
- Semangat sahabat dalam mencari dan menerima ilmu dari Rasulullah. Hal ini nampak dari sebab adanya hadits ini berupa pertanyaan mereka kepada Rasulullah.
- Bertanya merupakan satu cara mendapatkan ilmu yang sangat penting.
- Bolehnya seorang menjawab pertanyaan melebihi dari yang ditanyakan, apabila penanya membutuhkannya. Sebab dalam hadits ini, orang yang naik perahu butuh mengenal hukum bangkai hewan laut. Disini Rasulullah n memberikan fatwa ini karena mereka butuhkan dan mungkin juga selain mereka membutuhkannya. Oleh karena itu seorang mufti bila melihat kebutuhan penanya tentang sesuatu yang belum ditanyakan, maka disyariatkan untuk menambah melebihi pertanyaan. Apabila tidak maka jawaban hendaknya sesuai dengan pertanyaan saja. Syeikh Al-Basaam menyatakan, “Pentingnya menambah keterangan dalam fatwa atas satu pertanyaan. Hal itu apabila mufti menganggap penanya tidak mengerti hukum tersebut atau ia tertimpa masalah tersebut. Sebagaimana dalam bangkai hewan laut pada orang yang menyeberangi lautan. Ibnul Arabi menyatakan, ‘Itu termasuk nilai-nilai posotif fatwa dengan menjawab melebihi pertanyaan untuk menyempurnakan faedahnya dan menyampaikan ilmu yang tidak ditanyakan. Ini akan sangat penting apabila nampak kebutuhan terhadap hukum tersebut.’” (taudhih al-Ahkaam, 1/117).
- Ilmu terlebih dahulu sebelum beramal.
- Boleh berlayar mengarungi lautan meskipun bukan untuk berjihad.
- Membawa bekal ketika shafar menyalahi perbuatan kaum shufi.
- Kewajiban memelihara dan menjaga diri dari kebinasaan seperti kelaparan dan kehausan.
- Dari kaidah ushul, “Menolak kerusakan didahulukan dari mengambil manfaat.”
- Bahwa syariat Islam itu sangat mudah bagi mereka yang paham dan ikhlas.
- Bahwa seseorang tidak dibebani kecuali semampunya.
- Bahwa syariat Islam selalu memberikan jalan keluar bagi segala kesulitan.
- Air laut itu suci dan mensucikan. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan, “Air lau suci mensucikan seluruhnya tanpa pengecualian.” (fathuljalal walikram, 1/60)
- Bangkai binatang laut itu halal dan suci, sebab dalam kaidah dikatakan, “Semua yang halal itu suci dan tidak semua yang suci itu halal. Setiap najis itu haram dan tidak semua yang haram itu najis.” (Fathuljalal walikram, 1/60).
- Bolehnya berwudlu dengan air yang telah bercampur dengan sesuatu sehingga berubah rasanya, atau baunya atau warnanya selama tidak kemasukan najis, dan selama penamaannya tetap air, bukan yang telah berubah menjadi air teh atau kopi, dan lain-lain.
- Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia, dunia mereka dan akhirat mereka.
- Air laut suci mensucikan tidak keluar dari hukum ini sama sekali. Oleh karenanya diperbolehkan bersuci dengan air laut dari hadat kecil atau besar serta najis.
- Penjelasan hukum bangkai hewan laut yang tidak hidup kecuali diair.
- Pengertian hadits ini menunjukkan pengharaman bangkai hewan darat.
- Kewajiban merujuk kepada ulama ketika ada masalah, karena sahabat ini merujuk kepada Rasulullah ketika mendapatkan masalah dalam bersuci dengan air laut.
- Para sahabat tidak bersuci dengan air laut, karena asin bergaram dan baunya amis. Air yang demikian adanya tidak diminum sehingga para sahabat menganggap yang tidak diminum tidak bisa digunakan untuk bersuci. Rasulullah tidak menjawab hanya dengan kata “iya” ketika mereka bertanya: “apakah kami boleh berwudhu dengannya?”, agar kebolehan berwudhu dengannya itu terfahami tidak terikat dengan keadaan darurat semata bahkan untuk semua keadaan. Juga agar tidak difahami kebolehan tersebut hanya untuk berwudhu semata, namun boleh untuk menghilangkan hadat besar dan mensucikan najis.
Masaail.
Hewan
laut atau air dibagi oleh para ulama menjadi dua:
- Hewan air yang hanya hidup didalam air dan bila keluar kedaratan maka akan mati seperti hewan yang disembelih. Contohnya ikan dan sejenisnya.
- Hewan air yang dapat hidup di daratan juga, dinamakan sebagian orang dengan al-Barma`i (yang hidup didua alam). Seperti buaya, kepiting dan sejenisnya.
Para
ulama berbeda pendapat dalam hukum memakan hewan air dalam beberapa pendapat:
- Seluruh hewan laut halal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah dan asy-Syafi’iyah. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah ,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ
وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang
dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat,
selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu
akan dikumpulkan.”
(QS. Al-Maidah : 96).
Dan hadits Abu Hurairah yang kita bahas ini. Ayat dan hadits ini bersifat umum
pada
semua hewan laut.
- Seluruh hewan laut atau air halal kecuali katak, buaya dan ular. Ini adalah pendapat madzhab Hambaliyah. Mereka berdalil dengan keumuman ayat dan hadits yang digunakan argument oleh pendapat pertama. Mengecualikan katak karena hewan yang dilarang membunuhnya dan mengecualikan buaya karena ia buas pemangsa dengan taringnya dan memangsa manusia. Sedangkan ular karena termasuk yang menjijikkan.
- Semua yang ada dalam laut diharamkan kecuali ikan. Ikan dihalalkan untuk dimakan kecuali yang sudah mati mengambang dipermukaan laut. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah. Mereka berdalil pada keumuman firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَآأَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ
وَمَاذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِاْلأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ
فِسْقٌ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” (QS. Al-Maaidah: 3).
Dalam
ayat ini, Allah tidak merinci antara hewan laut dengan darat, sehingga
berlaku umum. Juga firman Allah,
يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang
baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raaf : 157).
Selain
ikan semua hewan laut buruk (khabiets), seperti kepiting dan
lain-lainnya.
- Dibolehkan memakan hewan laut selain ikan apabila yang serupa dengannya dari hewan darat halal dimakan. Misalnya babi laut diharamkan karena babi darat diharamkan, anjing laut haram karena anjing darat haram. Ini adalah satu diantara pendapat dalam madzhab syafi’iyah dan satu pendapat dari madzhab Hambaliyah. Dalilnya adalah qiyaas (analogi) hewan laut dengan hewan darat, karena kesamaan nama maka diberi hukum yang sama.
Pendapat yang rajah
Syeikh
Prof. DR. Shalih bin Abdillah bin Fauzan alifauzan merajihkan pendapat madzhab
malikiyah dengan dasar kuatnya dalil mereka dan tidak adanya dalil yang
mengkhususkan keumuman dalil-dalil mereka. Kemudian syeikh membantah pendapat
yang lainnya dengan menyatakan.
Dalil yang digunakan pendapat yang mengharamkan bangkai hewan laut berupa keumuman firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (QS. Al-Maaidah: 3).
Maka
jawabnya adalah ini umum yang sudah dikhususkan dengan sabda nabi tentang air
lautan,
(هُوَ
الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ)
Sedangkan
argumen mereka dengan keumuman firman Allah,
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raaf : 157).
Dalam
mengharamkan kepiting, ular dan sejenisnya dari hewan laut, maka tidak bisa
diterima perihal ini semua adalah habiets (buruk/menjijikkan). Sekedar klaim
ini termasuk yang menjijikkan tidak mengalahkan kegamblangan dalil-dalil (yang
membolehkan). Sedangkan qiyaas (analogi) mereka semua yang ada dilaut dengan
hewan darat yang dilarang, maka ini tidak sah karena menyelisihi nash syariat.
(Al-Ath’imah, hlm. 78-79).
Demikian
juga syeikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin merajihkan keumuman ini dalam
pernyataan beliau, “Yang benar adalah tidak dikecualikan satupun dari hal
itu. Semua hewan laut (air) yang tidak hidup kecuali diair adalah halal baik
yang hidup ataupun bangkainya, karena keumuman ayat yang telah kami sampaikan
terdahulu.” (Syarhulmumti’, 15/35)
Wallahu a’lam.